» » Ical Capres, Tinggal Nge-Press

Ical Capres, Tinggal Nge-Press

Penulis By on 03 July 2012 | No comments

AKHIRNYA, 33 DPD Partai Golkar se-Indonesia dan segenap sayap partainya pada 29 Juni 2012 resmi mengusung Abu Rizal Bakri (Ical) sebagai calon Presiden 2014 mendatang. Saya amat tertarik membahas hal ini, bukan karena mempersoalkan sosok Ical, tetapi tertarik pada cara berpikir Partai Golkar menyelesaikan masalahnya. Memang, publik sudah menduga jika Ical dengan kekuasaannya sebagai pucuk pimpinan mampu mengokohkan dirinya sebagai Capres resmi Partai Golkar, tetapi lebih dari itu Golkar mengisyaratkan kematangannya sebagai sebuah partai, apapun plus minus yang dimiliki sosok Ical.

Kematangan ini adalah sebuah rentetan dan cara berpolitik sebuah partai ‘senior’, yang mengajarkan pada realitas politik di Tanah Air, bila satu persatu masalah internal kepartaian harus diselesaikan sesegera mungkin, tidak menunda-nunda atau membiarkan opini publik terus bergulir mengiringi kontroversi Ical sebagai sosok tunggal Capres Golkar. Sebab di luar nama Ical, ada nama Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla yang juga dianggap layak sebagai Capres partai beringin ini. Jika dibiarkan terus bergulir, boleh jadi kader Golkar akan terus larut dalam perang opini internal, yang bisa menggerus energi serta waktu yang cukup panjang.

Saya berasumsi jika pen-capres-an Ical yang baru saja ditetapkan Partai Golkar adalah langkah strategis partai ini, terlepas opini publik yang mengiringi Ical sebagai sosok berhubungan langsung dengan masalah Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Satu-satunya ‘masalah berat’ Ical disamping posisi personalnya yang ‘non Jawa’. Fenomena seperti ini saya istilahkan ‘Ical Capres, Tinggal Nge-Press’. Artinya,  Ical dan segenap elemen Partai Golkar tinggal fokus di ranah pencitraan politik dengan memaksimalkan fungsi media (press). Tentu ini tidak serumit dengan nama besar lainnya seperti Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, Puan Maharani atau Anas Urbaningrum, sebab Ical memiliki jejaring media massa yang mendukung perjalanan politiknya dalam mem-framing persoalan-persoalan yang akan dihadapi Ical. Sesuatu yang sah-sah saja, sebab media didirikan umumnya mengikuti ideologi pemiliknya.

Dari sisi ilmu Komunikasi, resminya pen-capres-an Ical adalah bagian dari pemanfaatan teori konstruk personal yang diciptakan George Kelly. Teori ini menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai hal atau peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal dan peristiwa menurut perbedaannya. Perbedaan yang terlihat tidak bersifat natural, tetapi perbedaan itu ditentukan oleh berbagai perangkat yang saling bertentangan (set of opposite) yang  ada dalam sistem kognitif seseorang.

Dengan kata lain, Ical mampu memetakan perjalanan politiknya berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Ia seorang pengusaha lintas sektor, memiliki pengalaman sebagai menteri dan juga ketua umum partai. Semuanya ia peroleh berdasarkan kemampuan dan peristiwa politik yang melekat padanya, yang kemudian memposisikannya sebagai sosok yang layak mendapat posisi sebagai Capres. Kelayakan itulah yang tidak dimiliki oleh banyak politisi di negeri ini. Sementara persepsi negatif  karena dianggap terlibat langsung dalam kasus Lumpur Lapindo dapat dimaknai (oleh Ical sendiri) sebagai perbedaan yang (mungkin) bagi sosok Ical tidak bersifat natural, bukan gaya Ical, dan hanya set of opposite dalam pemikiran seseorang. Jika asumsinya seperti itu, Ical tentu bisa berkata, “Siapa politisi (Capres) yang tidak memiliki persepsi negatif di publik saat ini?”

Cara pandang seperti inilah (mungkin) menjadi asumsi berpolitik Ical meretas langkahnya sebagai Capres resmi Partai Golkar. Toh, jika kemudian media yang dimiliki Ical juga belum mampu mengangkat citra politiknya,  dan kemudian akan melemahkan posisi Partai Golkar pada Pemilu mendatang, mereka masih punya ruang dan waktu untuk berbenah atau menganti posisi Ical dengan nama lain sebagai Capres, sebab Pemilu masih menyisahkan waktu lebih dari setahun. Penulis tidak mengasumsikannya sebagai sekedar ‘coba-coba’, tetapi memahaminya sebagai ‘alat uji’ daya terima Ical di publik, sebab hal-hal seperti ini adalah realitas yang lumrah dalam dunia politik yang serba tidak pasti. Penulis menyebut cara ini sebagai politik pencitaan yang dimiliki seorang Ical.

Satu hal yang menjadi ‘cetak tebal’ langkah politik Ical dalam bingkai persepsi penulis, bila politisi ini mengetahui daya serap persepsi publik Indonesia yang dipengaruhi oleh informasi yang beredar disekitarnya. Semakin banyak dan intens media-media ‘miliknya’  memberitakan posisinya lalu mem-framing Ical sebagai tokoh layak jual, maka semakin besar peluang publik memberikan dukungan kepadanya. Ical paham, bahwa publik Indonesia adalah ‘khalayak kepala batu’ (the osbinate theory), susah dipengaruhi tetapi mudah didekati dengan pencitraan media. Saya memahaminya dengan kata ‘tinggal nge-press’.

Apakah cara ini bisa berjalan efektif? Apa spekulatif politik lanjutan seorang Ical? Lalu bagaimana langkah politik Capres lain? Waktu yang menjawabnya.

Cikini Pagi hari, 3 Juni 2012


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments